Wasiat Fundamental Yang Terabaikan

Maret 28, 2008 pukul 9:55 pm | Ditulis dalam Manhaj | 18 Komentar

Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani

Sesungguhnya termasuk perkara penting yang harus selalu kita ingat adalah wasiat-wasiat Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya yaitu wasiat perpisahan yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan kepada para sahabat –semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya-. Dikisahkan oleh ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu sebagai berikut:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ: ((أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ))

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat bersama kami, kemudian beliau memberi kami sebuah peringatan yang sangat baik. Oleh karenanya, mata-mata kami berlinang dan hati-hati kami bergetar. Maka seorang berkata: “wahai Rosulullah! Seolah-olah ini adalah peringatan orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat (kepada penguasa kalian) walaupun dia seorang budak Habsyi. Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup dari kalian setelahku niscaya dia akan melihat perselisihan yang cukup banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa` Ar-Rosyidin Al- Mahdiyyin (para khalifah yang terbimbing lagi mendapat petunjuk). Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah atasnya dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama. Karena sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rohimahullah dalam kitabnya ”Al Jami’us Shohih mimma laisa fis Shohihain” 1/198-199 Cet. Daarul Atsaar Yaman)

Hadits ini merupakan wasiat yang sangat agung, di dalamnya terkandung beberapa pelajaran penting yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita tunaikan sepeninggalnya. Dengan mengamalkannya, kita tidak akan terombang-ambing dalam mengarungi ombak dan badai kehidupan dunia ini, sebelum kita menyusul beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ke alam barzakh dan akherat nanti.
Pada hadits yang mulia ini, beliau mewasiatkan tiga perkara kepada kita: yang pertama untuk setiap pribadi yang muslim, yang kedua terhadap pemerintah kaum muslimin, dan yang ketiga mengenai pengamalan agama secara benar. Adapun yang berkenaan dengan setiap pribadi yang muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla.” Wasiat beliau untuk bertakwa kepada Allah merupakan wasiat yang sangat agung. Wasiat ini adalah ajaran yang menuntun kita untuk membentengi diri dengan keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala. Seorang yang bertakwa kepada Allah niscaya akan berhasil membina dirinya. Dengan bertakwa, berarti dia berhasil pula meraih keutamaan serta ganjaran yang cukup besar disisi Allah Ta’ala. Kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam bertakwa kepada Allah. Sekian banyak janji Allah dalam Al-Qur’an hanya dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa. Di antaranya, Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan untuknya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 2-3)

Inilah beberapa keutamaan bertakwa kepada Allah yang akan diraih dalam menapaki kehidupan dunia ini. Allah akan membentangkan jalan keluar dari segala problema hidup yang membelitnya, Allah akan melimpahkan rezeki kepadanya dari arah yang tiada disangka-sangkanya, dan Allah akan mencukupkan kebutuhannya bila takwa disertai dengan penyandaran diri kepada-Nya. Demikianlah janji Allah kepada orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang ingin meraih keberuntungan ini, hendaklah dia bertakwa kepada Allah. Adapun keutamaan bertakwa kepada Allah yang akan digapai dalam kehidupan kampung akherat yaitu memuaskan diri dengan mereguk berbagai kenikmatan surga yang tiada banding. Allah berfirman (yang artinya):  

”Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rob kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (Ali Imron: 133)

”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka inginkan. (Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kalian dengan enak karena amal yang telah kalian kerjakan”. (Al Mursalaat: 41-43)

”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya. Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Robmu dan pemberian yang cukup banyak”. (An Naba`: 31-36)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang berbicara tentang pahala dan ganjaran bagi orang-orang yang bertakwa di kampung akherat nanti.
Bertakwa kepada Allah artinya melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Nya. Bertakwa adalah kalimat yang singkat tetapi pengamalannya merupakan perkara yang cukup berat. Kebanyakan manusia terombang-ambing dalam bertakwa kepada Allah diantara dua kondisi. Sebagian dari mereka tidak menunaikannya sesuai dengan yang dikehendaki dan diridhoi oleh Allah. Sedangkan sebagian yang lain berlebihan ketika mengamalkannya sehingga melampaui batas dalam beragama. Namun yang berbahagia dan beruntung adalah orang-orang yang menunaikan dan mengamalkannya sesuai dengan keridhoan Allah Ta’ala dan tidak melampui batas agama. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian meninggal dunia melainkan sebagai orang-orang yang beragama islam.” (Ali ‘Imran: 102)

Wasiat beliau yang kedua yaitu menyangkut hubungan dengan pemerintah kaum muslimin, hubungan dalam bernegara dan bermasyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan (yang artinya): “Aku wasiatkan kepada kalian untuk mendengar dan taat walaupun yang berkuasa atas kalian adalah seorang budak Habasyi.” Ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menunjukkan betapa penting mendengar dan taat kepada pemerintah yang muslim. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهُ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada penguasanya berarti dia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada penguasanya berarti dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu hurairah radhiyallahu ’anhu)

Maka mendengar dan taat kepada pemerintah kaum muslimin merupakan perkara yang diperintahkan oleh Islam. Tentu saja mendengar dan taat yang diperintahkan oleh islam itu dalam batas norma-norma kebaikan. Semuanya harus berpijak kepada ajaran Al Quran dan As-Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“sunguh ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)

Adapun untuk yang selain kebaikan, kita tidak diperintahkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintah. Namun bukan berarti bahwa kita diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang menjatuhkan kewibawaan pemerintah tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

السُّلْطُانُ ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضِ فََمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ مَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَ اللهُ

“Penguasa itu adalah naungan Allah diatas muka bumi, maka barangsiapa yang memuliakannya niscaya dia akan dimuliakan oleh Allah. Dan barangsiapa yang menghinakannya niscaya dia akan dihinakan oleh Allah.” (HR. Ibnu Abi ’Ashim dan yang selainnya, dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ’anhu, dihasankan oleh Syaikh Al Albani rohimahullah)

Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyi”. Ini bukan berarti bahwa kita disyariatkan untuk mengangkat penguasa dari seorang budak habsyi. Sebab kekuasaan itu pada hakekatnya hendaklah diserahkan kepada seorang yang bersuku Quraisy. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اْلأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشَ

“Para pemimpin (kaum muslimin) itu adalah dari suku Quraisy”. (HR. Ahmad, At-Thabrani, Al Baihaqi, At-Thayalisi, Ibnu Abi ‘Ashim, dan yang lainnya, dari beberapa orang sahabat nabi, diantaranya: Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Abu Barzah Al-Aslami, dan yang lainnya. Hadist ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa` no (250) )

Sedangkan dalam hadits yang lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ingin memberikan permisalan. Yang beliau lakukan ini dalam rangka mempertegas perintahnya untuk mendengar dan taat kepada pemerintah kita dalam segala kondisi, baik sewaktu sulit atau mudah, suka atau murka, bahkan walaupun mendzolimi kita, selama tidak mengandung maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengambil ba’iat dari para sahabatnya –semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya- agar tetap mendengar dan taat kepada penguasa mereka. Sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian sahabat:
“Baik dalam keadaan kami suka maupun tidak suka”. (HR.Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Ubadah bin As-Shamit radhiyallahu ’anhu)
Adapun wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketiga yaitu mengenai pengamalan agama secara benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa yang masih hidup dari kalian setelahku niscaya dia akan melihat perselisihan yang cukup banyak”.
Yakni perselisihan dalam masalah agama. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa` Ar-Rosyidin Al- Mahdiyyin (para khalifah yang terbimbing lagi mendapat petunjuk)”.
Yakni berpegang kepada ajaran agama yang telah diwariskan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya, secara lebih khusus para Khulafa` Ar-Rosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) –semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya-. Perintah beliau ini membimbing kita untuk memahami agama sesuai dengan Sunnahnya dan pemahaman para sahabatnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah atasnya dengan gigi-gigi geraham kalian”.
Pernyataan ini merupakan penekanan yang extra dalam memegang sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sekuat-kuatnya, sampai diibaratkan seperti menggigitnya dengan gigi-gigi geraham. Seorang yang menggigit dengan gigi-gigi gerahamnya terbukti lebih kuat daripada yang menggigit dengan gigi-giginya yang lain. Bahkan gigitannya tidak akan mampu dilepaskan walaupun dengan tarikan yang menghentak kecuali jika gigi-gigi geraham itu telah tercabut dari akarnya.
Maksud dari semua ini yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita agar memegang teguh sunnahnya dengan sekuat tenaga dan kemampuan. Sebab di masa belakangan sepeninggal beliau nanti, akan terjadi perkara-perkara baru dalam agama yang memancing kita untuk mengikuti angkara murka hawa nafsu kita. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama. Karena sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Wallahu a’lam bish shawab ***

Download pdf wasiat-fundamental-yang-terabaikan

18 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. assalamu’alaikum
    artikel yang bagus.
    sampaikan slm ana bwt salafiyun di Jogja

  2. Assalamu’alaikum

    Ustadz, minta izin artikel dari blog antum dicopy untuk ditampilkan di http://www.mimbarislami.or.id

    barakallahu fiyka


    Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh

    Ana mengizinkan siapa saja yang ingin menyebarkan tulisan ana dalam blog ini selama dengan tujuan dakwah bukan komersial maupun yang selainnya. Ana

    mensyaratkan bagi yang ingin menyebarkannya, hendaklah dengan lengkap bukan sepotong-sepotong. Baarakallahu fiik

  3. assalamu’alaikum
    ustadz saya mau nanya mengenai “…Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama. Karena sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”
    Kemudian kita mengenal ucapan: Sunnah ada dua; sunnah fi’liyyah dan sunnah tarkiyyah. Yang pertama; setiap yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk melakukannya. Dan yang kedua; setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk tidak melakukannya.

    Apakah ini berlaku mutlak Ustadz?
    Karena begini;
    1) Kalau saya tidak keliru, Rasulullah hanya melaksanakan haji sebanyak 1x. Apakah peryataan di atas berarti bahwa bid’ah jika melaksanakan haji lebih 1x?
    2) Rasulullah hidup dengan penuh keprihatinan dan jauh dari kemewahan. Apakah berarti bid’ah kalau kita hidup dengan kemewahan? (jamannya Rasul tentu ngga ada mobil, tv, dll. Yang sekarang ini sdh dianggap mewah).
    3) Apakah perubahan-perubahan yang dilaksanakan oleh Sahabat Rasul juga dianggap bid’ah? Seperti (mudah2an ngga keliru ya) menjadikan shalat malam di bulan Ramadhan menjadi shalat Taraweh berjamaah pada jaman Saydina Umar. Mengapa di jaman Rasulullah dan di jaman Saydina Abubakar ngga ada? Saya yakin tentu Saydina Abubakar lebih faham masalah ini daripada Saydina Umar, karena bukankah ia khalifah pertama?

    Sehingga jika hal-hal tsb diperbolehkan, mengapa saudara kita yang melaksanakan perayaan Maulid, Tahlil (yang pernah saya ikuti) semuanya berisi puji-pujian tdp Rasulullah dan dzikir kepada Allah swt dianggap bid’ah? Sementara saya melihat dan merasakannya sendiri merupakan pendekatan diri dan hati kita kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw dan Allah wa jalla?

    Demikian Ustadz. Mohon tanggapannya.
    Wass


    Jawab:

    Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh

    Pertama, kita harus meyakini bahwasanya ajaran agama Allah ini telah sempurna. Maka barangsiapa yang menambahi atau mengurangi sesuatu dari agama ini, berarti dia terjebak ke dalam salah satu dari dua kemungkinan:

    A. dia mempersaksikan atas dirinya sendiri bahwa dia telah sesat, karena dia menambahi atau mengurangi sesuatu dari agama ini padahal telah sempurna.

    B. dia meyakini bahwa agama ini belum sempurna, maka dia butuh untuk melengkapinya. Hal ini merupakan kelancangan terhadap Al-Quran yang memberitakan tentang kesempurnaan agama ini (Al-Maidah ayat: 3).
    Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat perkara baru dalam Islam yang dianggapnya sebagai kebaikan, berarti dia mengira bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalahnya, karena Allah berfirman (yang artinya),

    “Pada hari ini aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian”. (Al-Maidah:3)
    Maka sesuatu yang pada hari itu tidak teranggap sebagai agama, hari ini pun bukan agama”.

    Adapun pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

    “…Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama. Karena sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat”

    berlaku secara umum. Karena beliau sendiri yang menyatakan bahwa setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Adapun haji lebih dari satu kali tidaklah bid’ah selama tidak meyakini kewajibannya lebih dari satu kali. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari seorang sahabat yang mengajukan pertanyaan tentang haji pada setiap tahun. Yang beliau ingkari bahwa kewajiban haji berlaku pada setiap tahun (sebagaimana dalam HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). Sebab kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Wallahu A’lam
    Adapun perkara baru dalam urusan dunia tidak termasuk kategori pembahasan kita. kebid’ahan yang tercela adalah kebid’ahan dalam perkara agama bukan dalam urusan dunia. Wallahu A’lam
    Adapun mengenai shalat tarawih secara berjama’ah, ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian hal itu ditinggalkan oleh beliau karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya (sebaigamana dalam HR. Al-Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), sebab pada waktu itu masih turun wahyu kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun setelah beliau meninggal dunia kekhawatiran itu sirna karena wahyu tidak lagi turun seperti semasa beliau masih hidup. Wallahu A’lam
    Maka perasaan semata tidak cukup untuk menganggap baik sesuatu dalam agama ini. Tetapi haruslah dengan tuntunan Al Quran dan As Sunnah. semoga Allah selalu menunjukkan hati-hati kita kepada jalan yang benar. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin

  4. Assalamualaikum ustadz, bolehkah saya kopi paste komentar-pertanyaan saudara Armand berikut jawaban dari ustadz seputer bid’ah di atas untuk disebarkan, sehingga kaum muslimin dapat memetik faidah dari tanya jawab tersebut? Semoga Allah senantiasa menjaga ustadz. Wassalamualaikum.


    Wa’alaikumussalam,

    Ya boleh saja.Baarakallahu fiik

  5. Ustadz yang baik hati,
    Terima kasih Ustadz sdh berkenan meluangkan waktu utk mengomentari pertanyaan-pertanyaan saya (yang agak kritis ya?). Mudah2an tidak bosen ya, karna pertanyaannya keliatannya akan berlanjut.
    (1) Tanggapan Ustadz:
    “Adapun haji lebih dari satu kali tidaklah bid’ah selama tidak meyakini kewajibannya lebih dari satu kali”
    Apakah ini berarti jika kita meyakini bahwa haji lebih 1x adalah Wajib, maka itu sdh Bid’ah?
    Ustadz menekankan pada “meyakini” dan “tidak meyakini” (bisakan saya pahamkan ini masalah hati?), yang mana bukankah ini akan berarti bahwa Bid’ah dan tidaknya seseorang tergantung pada ‘apa isi keyakinan (hati) ia’ dalam melaksanakan sesuatu (ibadah) yang belum pernah sebelumnya dilaksanakan oleh Rasulullah saw?
    Pertanyaannya kemudian adalah:
    Bagaimana kita bisa memastikan bahwa keyakinan seseorang melaksanakan amalan yang belum pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw adalah Bid’ah. Sementara kita sendiri tidak mengetahui apa isi hati seseorang itu?
    Kembali di awal pertanyaan saya sebelumnya mengenai perayaan Maulid dan pembacaan Tahlil. Setahu saya keyakinan saya dan beberapa teman saya melaksanakan macam-macam kegiatan tsb adalah dilandasi hati yang bersih untuk menambah kecintaan kita pada junjungan Nabi Yang Suci Muhammad saw serta pendekatan pada Allah wa jalla. Gimana ini Ustadz?
    (2) Tanggapan Ustadz:
    “Adapun perkara baru dalam urusan dunia tidak termasuk kategori pembahasan kita. kebid’ahan yang tercela adalah kebid’ahan dalam perkara agama bukan dalam urusan dunia.”
    Apakah saya bisa mengartikan bahwa menurut Ustadz ada pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia? Apa perbedaanya Ustadz, hal ini dengan paham sekuler? Setahu saya segala urusan dunia sudah termaktub dlm urusan Islam. Segala urusan dunia adalah ibadah (jika ia diniatkan untuk taqarrub kepada Allah swt). Bukankah hidup zuhud, tidak bermewah-mewah yang dicontohkan Rasulullah saw memang jelas perintah agama dan wajib bagi kita untuk mencontohnya? Bukankah Rasulullah saw adalah Uswatun Hasanah? Saya yakin Rasulullah saw tidak pernah memakai kasur ‘Springbed’ waktu tidurnya. Jika kita pakai kasur empuk ini di waktu malam bukankah sudah Bid’ah karena Rasulullah tidak mencontohkannya?
    (3) Tanggapan Ustadz:
    “Adapun mengenai shalat tarawih secara berjama’ah, ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian hal itu ditinggalkan oleh beliau karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya (sebaigamana dalam riwayat As-Shahih)”
    Bukankah hal ini sangat jelas Ustadz. Bahwa Rasulullah meninggalkan shalat Taraweh Berjama’ah? Mengapa diteruskan dan tidak pula dilaksanakan oleh sahabat Abubakar? Bagaimana Khalifah Umar sampai pada keputusan yang tidak mengindahkan kekhawatiran Rasulullah saw? Apakah Khalifah Umar lebih mengetahui dari Rasulullah saw mengenai kesulitan yang akan dihadapi oleh umatnya dalam pelaksanaan Taraweh berjama’ah ini? Saya yakin bahwa pengetahuan Rasullullah saw tidak ada yang bisa menandingi oleh para sahabat sekali pun.
    Demikian pertanyaan lanjutannya Ustadz. Moga Ustadz ngga kesal,bosen dan mengganggap saya lancang karena: Siapa sih ini orang yang berani-beraninya mengkoreksi Khalifah Umar? Ma’af ya?

  6. Assalamu’alaikum Ustadz,
    Tolong dijelaskan Ustadz bagaimana pendirian kita mengenai pertanyaan sdr Armand. Karena saya juga kebetulan sering menerima pertanyaan-pertanyaan kritis ini dari teman-teman lain. Saya berharap kita punya jawaban yang logis. Nantinya jawaban Ustadz akan saya pakai untuk berdiskusi dengan teman-teman saya.
    Beberapa kali saya pernah menanyakan pertanyaan semirip dgn yang ditanyakan sdr Armand di pengajian-pengajian, tapi jawabannya kurang memuaskan, karena alasannya kebanyakan “jangan menuhankan akal”, “jangan pakai hawa nafsu”, dll. Saya sih kurang cocok dg jawabab-jawaban seperti itu.
    Tolong Ustadz dijawab ya. Saya sdh baca artikel-artikel Ustadz dan saya akui memang berbeda dgn pengajian2 yang pernah saya ikuti.
    Demikian Ustadz. Wassalamu’alaikum

  7. Jawaban untuk saudara Arman:

    Bismillaahirrahmaanirrahiim

    Sebagai pembukaan, disini saya ingin mengajak kepada pengunjung blog ini untuk kembali melihat bagian Profil&buku tamu. Pada point yang kedua, saya mengatakan, “Kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya bila kami terlambat untuk mengupdate tulisan atau komentar para pengunjung blog ini, karena kesibukan dan agenda kami yang padat”. Walaupun hal ini adalah kekurangan, namun saya berharap sebagaimana yang dinyatakan dalam kaedah fiqih, “ sesuatau yang tidak bisa dikerjakan semuanya bukan berarti ditinggalkan semuanya”. Baarakallahu fiikum

    -Mengenai pertanyaan anda pada point yang pertama, maka saya jawab sebagai berikut:
    “Kewajiban haji hanya sekali dalam seumur adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sebagaimana dalam HR. Muslim dari sahabat Abu hurairah radhiyallahu ‘anhu). Setahu saya bahwa hal ini disepakati oleh para ulama dari setiap madzhab (sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Daqiqil ‘id rahimahullah dalam Syarh Al-Arba’in). Oleh karena itu, barangsiapa yang meyakini bahwa kewajiban haji lebih dari sekali dalam seumur, jelas itu adalah perkara baru dalam agama yang disebut dengan bid’ah.
    Kemudian kita harus mengetahui bahwa perkara bid’ah bisa berupa keyakinan, ucapan atau perbuatan. Suatu keyakinan,ucapan, atau perbuatan dinyatakan bid’ah tatkala tidak memiliki dasar hukum yang mapan dari Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi pernyataan saya: “selama tidak meyakini kewajibannya lebih dari satu kali” maksudnya seorang yang meyakini bahwa kewajiban haji lebih dari sekali dalam seumur, berarti dia telah meyakini suatu bid’ah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
    Adapun pernyataan anda: “Ustadz menekankan pada “meyakini” dan “tidak meyakini” (bisakan saya pahamkan ini masalah hati?), yang mana bukankah ini akan berarti bahwa Bid’ah dan tidaknya seseorang tergantung pada ‘apa isi keyakinan (hati) ia’ dalam melaksanakan sesuatu (ibadah) yang belum pernah sebelumnya dilaksanakan oleh Rasulullah saw?…dst”, menunjukkan bahwa anda tidak cermat dalam memahami kalimat saya dan terlalu tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan. Namun saya berbaik sangka bahwa anda benar-benar tidak tahu dan bukan hawa nafsu. Wallahu a’lam
    Hati yang bersih, niat yang baik, dan keikhlasan kepada Allah tidak cukup untuk mengklaim sebuah amal telah disyariatkan dan bukan bid’ah. Sebuah amal yang disyariatkan dan diterima disisi Allah haruslah memenuhi dua kriteria. Yang pertama, niat baik dan ikhlas kepada Allah. Yang kedua, dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Amal yang kehilangan kriteria yang pertama merupakan perbuatan syirik. Sedangkan amal yang kehilangan kriteria yang kedua merupakan bid’ah.
    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersada (yang artinya),
    “barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka hal itu tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

    -Mengenai pertanyaan anda pada point yang kedua, maka saya jawab sebagai berikut:
    “Kita harus bisa membedakan antara ibadah mahdhah (perkara ibadah yang murni ibadah) dan yang tidak. ibadah mahdhah adalah perkara agama yang telah turun aturannya secara baku dari Allah Ta’ala melalui Rasulnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak mungkin bagi kita untuk mengotak-atiknya, baik dengan menambahi atau menguranginya. Disinilah letak alur sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah lalu pada hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sedangkan urusan dunia, hukum asalnya adalah mubah bagi manusia untuk berbuat apa saja kecuali yang dibatasi oleh agama ini tentang kebolehannya. Sebagian urusan dunia yang dilarang oleh Allah merupakan perkara agama yang tidak boleh kita melanggarnya. Allah berfirman (yang artinya):

    “Dia lah (Allah) yang telah menciptakan bagi kalian segala yang ada di bumi ini”. (Al Baqarah: 29)

    Ayat ini menurut ahli ushul fiqih merupakan dalil tentang hukum asal segala urusan dunia adalah mubah kecuali yang dilarang dalam agama ini. Bahkan sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan (yang artinya),

    “Kalian lebih mengerti tentang urusan-urusan dunia kalian” (HR. Muslim, no: 2366)

    Imam An-Nawawi Asy-Syafi’I rahimahullah membuat judul bab bagi hadits ini dalam shahih Muslim, “Bab kewajiban melaksanakan sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan syariat agama bukan yang Beliau ucapkan sebagai pendapat (manusia biasa) dalam urusan kehidupan duniawi”.

    Adapun seorang muslim yang meniatkan dalam urusan dunia yang mubah sebagai ibadah, memang hal itu bisa dinilai sebagai ibadah. Inilah ibadah yang tidak mahdhah. Yaitu ibadah yang tidak murni ibadah dalam konotasi bahwa aturan dan tata caranya secara spesifik memang tidak diatur dalam syariat ini. Itupun masih harus memenuhi beberapa syarat yang disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Sehingga tidak serta merta dianggap ibadah tanpa batasan yang jelas. Perkara ini adalah pembahasan yang lumayan panjang, dan butuh kepada ilmu serta ketelitian. Hendaknya kita menilai pemasalahan ini dengan ilmu dan bukan subyektifitas yang bisa jadi merupakan wujud dari hawa nafsu yang menyesatkan.

    Adapun paham sekuler, merupakan pemikiran sesat yang sama sekali tak mau terikat dengan syariat agama ini dalam urusan dunia. Sehingga paham ini menghalalkan segala sesuatu dengan pandangan bahwa urusan dunia tak ada sangkut pautnya dengan agama. Ini jelas kemurtadan dari islam. Target dari paham ini yaitu benar-benar menjauhkan manusia dari agama. Tentunya paham ini sangat berbeda dengan keterangan yang telah saya sebutkan tadi. Semoga Allah menjadikan kita termasuk ulil abshar.

    Adapun zuhud dalam kehidupan dunia memang ajaran islam yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat zuhud terhadap dunia. Namun bukan berarti menggunakan fasilitas dunia yang mubah dan tidak ada dalil yang melarangnya adalah tidak boleh. Apabila kita mengatakan tidak boleh, maka kita harus mendatangkan dalil yang melarangnya. Karena urusan dunia pada hukum asalnya adalah mubah sebagaimana yang telah kita singgung diatas. Jika kita melarang sesuatu dari urusan dunia dengan alasan agama tanpa dalil, maka inilah bid’ah yang tertolak disisi Allah. Perbuatan ini berarti menyaingi Allah dalam pembuatan syariat. Na’udzu billahi min dzalik.
    Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

    “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah”. (As-Syura: 21)

    -Mengenai pertanyaan anda pada point yang ketiga, maka saya jawab sebagai berikut:

    “Shalat tarawih berjamaah bukanlah perkara bid’ah dalam agama. Shalat tarawih secara berjama’ah, ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian hal itu ditinggalkan oleh beliau karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya (sebaigamana dalam HR. Al-Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), sebab pada waktu itu masih turun wahyu kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun setelah beliau meninggal dunia kekhawatiran itu sirna karena wahyu tidak lagi turun seperti semasa beliau masih hidup. Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan shalat tarawih berjamaah bukan karena hal itu tidak disyariatkan namun karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan kita untuk melaksanakannya secara berjamaah bersama seorang imam. Bahkan dimasa beliau kaum muslimin melaksanakannya secara berjamaah tanpa ada pengingkaran dari beliau. Pengakuan beliau itu adalah sunnah beliau, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama ushul fiqih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),

    “Sesungguhnya bila seorang shalat (tarawih) bersama imam sampai dia selesai, ditulis baginya (pahala) shalat semalam penuh”. (HR. Abu Daud,Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Al Irwa` no: 447)

    Berdasarkan hadits ini, Al Imam Ahmad dan yang selainnya berhujjah tentang shalat tarawih berjamaah adalah lebih utama daripada melaksanakannya sendirian. Bahkan –setahu saya- tak ada seorang ulama pun yang berpendapat tidak bolehnya shalat tarawih berjamaah. Hanya saja yang mereka perselisihkan adalah tentang keutamaannya bila dibandingkan dengan melaksanakannya sendirian. Maka perbuatan Umar itu bukanlah bid’ah. Sedangkan pernyataan beliau “sebaik-baik bid’ah adalah ini” maksudnya bid’ah dalam pengertian bahasa. Bid’ah secara bahasa adalah setiap perkara baru, apakah ada dalilnya atau tidak. Bukan bid’ah dalam pengertian syari’at.
    Adapun Abu Bakar tidak melaksanakannya, tidak menunjukkan bahwa perkara itu adalah bid’ah. Karena hujjah di dalam islam yaitu kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lagi pula, shalat tarawih berjamaah bukanlah amalan yang diwajibkan. Selanjutnya, tak seorang pun dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mengingkari perbuaatan umar pada waktu itu. Dan kesepakatan para sahabat itu adalah hujjah, sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Tentunya tak mungkin para sahabat bersepakat mengakui kebathilan. Wallahu a’lam bish shawab
    Diakhir jawaban ini, saya mengajak kepada sipenanya –semoga Allah menunjukinya kepada jalan yang lurus- dan segenap kaum muslimin untuk membersihkan hati beserta jiwa dari segala makar hawa nafsu yang menyesatkan. Marilah kita meluruskan niat untuk mengikuti kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula, marilah kita banyak-banyak mempelajari ilmu islam dari sumbernya yang masih bersih yaitu kitabullah dan sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari umat ini (salaf). Bukan dengan pemahaman pribadi atau siapapun dari kalangan manusia. Siapakah kita sehingga layak ikut campur tangan guna mengotak-atik syariat agama yang mulia ini.
    Disini saya juga ingin mengingatkan kepada sipenanya dan yang semisalnya agar tidak bermudah-mudahan dalam mengucapkan sesuatu yang tidak layak kepada seorang pun dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terlebih lagi kepada seorang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Mereka adalah orang-orang yang telah dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Terlalu banyak dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang membuktikan kebenaran hal itu. Maka sangat tak pantas bagi kita sebagai muslimin mengucapkan sesuatu yang tidak senonoh bagi mereka. Jangan sampai Allah menghinakan kita karena kita melecehkan orang-orang yang telah dimuliakan oleh Allah dan Rasulnya. Marilah kita berkaca guna melihat diri kita sendiri sebelum berbicara sembrono tentang salah seorang dari mereka. Supaya kita menyadari siapakah diri kita ini bila dibanding orang-orag yang mulia itu. Lebih baik kita berburuk sangka kepada diri dan pemahaman kita yang cetek dan dangkal daripada kepada diri, ilmu, atau amal mereka.
    Semoga Allah selalu merahmati dan menunjuki kita kepada jalan yang benar. Wallaahu waliyyut taufiiq

  8. Assalamu’alaikum.
    Ustadz, terima kasih artikel – artikelnya (nasehat – nasehatnya). Semoga Allah membalasnya, amin.

  9. Assalamu’alaikum,

    Jazakumullah Ustaz, ana mengkopy artikel serta nasehat-nasehat dalam menjawab pertanyaaan yang diajukan.

    Ana berdoa semoga Allah selalu memberi keberkahan pada Ustaz dan ustaz salaf lainnya. Semoga Allah selalu menjaga dan mereahmati perjuangan ini.

    Wasslamu’alaikum

  10. Bismillahirrohmanirrohim.
    Ustadz, afwan. Saya seperti halnya ikhwah lainnya memohon izin untuk menampilkan artikel-artikel ustadz dari blog ini ke tempat blog saya. Dan mohon maaf apakah untuk semua artikel diperkenankan izinnya cukup satu kali ini tidak perlu setiap artikel saya komentar untuk mohon izin? Barokallahu fiykum


    jawab:
    Ya ana izinkan untuk semuanya, asal dinukil secara utuh. Waanta Baarakallahu fiik

  11. Bismillah, afwan baru ada kesempatan memberitahukan kepada antum kalau ada beberapa tulisan antum yang kami muat di http://www.audiosalaf.com dan disebar ke milis-milis ikhwan salafiy untuk didownload secara gratis dan telah diubah menjadi PDF (tanpa merubah satu huruf pun tulisan antum, kecuali merapikan format huruf,layout arabic dan semisalnya)
    barokALLOHfiyk.

    a/n AUDIOSALAF
    Abu Maryam

  12. Assalamu’alaykum! ustadz, afwan ana (telat) minta ijin mengambil beberapa artikel di blog antum untuk ditempatkan download gratis di audiosalaf Barokallohfiikum


    jawab:
    Wa’alaikumussalaam
    Oh iya, tidak mengapa, baarakallaahu fiik.

  13. Barokallahu fiik,ustad

  14. Assalamualaikum ustad,,Saya minta izin untuk mengcopy artikel ini di blog saya..
    dan juga RSS feednya uztad,
    Jazzakumullah khrairan katsiraan..

  15. Assalamualaykum. Tulisan yg bgs sekali. Barakallahu fiik

  16. assalamu’alaikum…………..!!!
    artikelnya sungguh jayyid jiddan………….!!!
    ana suka…………!!!

  17. Barakallahu fiikum ustadz. Ana izin copy pertanyaan dan artikel-nya. Insya-Allah mengambil secara utuh.

  18. assalamu’alaikum. afwan ustadz,ana izin meng- copy file ini.jazzakumullahu khairan.


Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.